Sejarah Tahlil
Sebelum menyimak sejarah tahlilan dan segala yang terkait di bawah ini, perlu penulis dan pembaca pahami,bahwa agama itu untuk manusia bukan untuk Allah,maka segala bentuk kegiatan ritual agama disusuaikan dengan sunnah Rasul dan kemanfatan bagi manusia, sesuai dengan konsep keimanan kita,yaitu: keyakinan dalam hati,mengkomunikasikan dengan llisan dan dilaksakan dengan perbuatan
Kondisi tersebut telah menimbul keprihatinan di kalangan ulama dan pengurus NU
di berbagai wilayah dan cabang, salah satunya PCNU Kendal. KH Muhammad Danial
Royyan penulis buku ini yang juga ketua tanfidziyah PCNU Kendal periode
2012-2017 menuangkan kegelisahannya dengan menulis buku Sejarah Tahlil. Tradisi
Tahlilan yang merupakan salah satu sasaran tembak bagi kaum salafi wahabi perlu
mendapatkan pembelaan agar kaum Nahdliyyin tidak menjadi ragu atas amaliah yang
dilakukan secara turun-temurun dan masih berkembang di masyarakat hingga saat
ini.
Buku Sejarah Tahlil yang dicetak dalam ukuran saku tersebut memaparkan bagaimana tradisi bacaan Tahlil sebagaimana yang dilakukan kaum muslimin sekarang ini tidak terdapat secara khusus pada zaman nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Tetapi tradisi itu mulai ada sejak zaman ulama muta’akhirin sekitar abad sebelas hijriyah yang mereka lakukan berdasarkan istimbath dari Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW, lalu mereka menyusun rangkaian bacaan tahlil, mengamalkannya secara rutin dan mengajarkannya kepada kaum muslimin.
Dalam buku tersebut juga diulas siapa sebenarnya yang pertama kali menyusun rangkaian bacaan tahlil dan mentradisikannya. Menurut penulis buku ini, hal tersebut pernah dibahas dalam forum Bahtsul Masail oleh para kyai Ahli Thariqah. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang pertama menyusun tahlil adalah Sayyid Ja’far Al- Barzanji. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa yang menyusun tahlil pertama kali adalah Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad.
Dari dua pendapat tersebut, pendapat yang paling kuat tentang siapa penyusun pertama tahlil adalah Imam Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad. Hal itu didasarkan pada argumentasi bahwa Imam Al- Haddad yang wafat pada tahun 1132 H lebih dahulu daripada Sayyid Ja’far Al – Barzanji yang wafat pada tahun 1177 H.
Pendapat tersebut diperkuat oleh tulisan Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam syarah Ratib Al Haddad, bahwa kebiasaan imam Abdullah Al Haddad sesudah membaca Ratib adalah bacaan tahlil. Para hadirin yang hadir dalam majlis Imam Al Haddad ikut membaca tahlil secara bersama-sama tidak ada yang saling mendahului sampai dengan 500 kali.
Disamping mengulas sejarah tahlil, buku setebal 72 hal itu juga membahas argumentasi tahlil dan pahala bacaanya yang diyakini bisa sampai kepada mayyit. Pada bab-bab berikutnya penulis juga mengupas tentang talqin dan ziarah kubur lengkap dengan pengertian, tatacara dan argumentasi pelaksanaannya. Buku ini wajib dibaca oleh warga Nahdliyyin di Kendal karena memang diterbitkan dalam rangka penggalian dana NU Kendal dan menggantikan model penggalian dana dengan lewat stiker. Sungguhpun demikian buku ini juga perlu dibaca oleh warga NU dimana saja berada.
Peresensi adalah kontributor NU Online Kendal
Buku Sejarah Tahlil yang dicetak dalam ukuran saku tersebut memaparkan bagaimana tradisi bacaan Tahlil sebagaimana yang dilakukan kaum muslimin sekarang ini tidak terdapat secara khusus pada zaman nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Tetapi tradisi itu mulai ada sejak zaman ulama muta’akhirin sekitar abad sebelas hijriyah yang mereka lakukan berdasarkan istimbath dari Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW, lalu mereka menyusun rangkaian bacaan tahlil, mengamalkannya secara rutin dan mengajarkannya kepada kaum muslimin.
Dalam buku tersebut juga diulas siapa sebenarnya yang pertama kali menyusun rangkaian bacaan tahlil dan mentradisikannya. Menurut penulis buku ini, hal tersebut pernah dibahas dalam forum Bahtsul Masail oleh para kyai Ahli Thariqah. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang pertama menyusun tahlil adalah Sayyid Ja’far Al- Barzanji. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa yang menyusun tahlil pertama kali adalah Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad.
Dari dua pendapat tersebut, pendapat yang paling kuat tentang siapa penyusun pertama tahlil adalah Imam Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad. Hal itu didasarkan pada argumentasi bahwa Imam Al- Haddad yang wafat pada tahun 1132 H lebih dahulu daripada Sayyid Ja’far Al – Barzanji yang wafat pada tahun 1177 H.
Pendapat tersebut diperkuat oleh tulisan Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam syarah Ratib Al Haddad, bahwa kebiasaan imam Abdullah Al Haddad sesudah membaca Ratib adalah bacaan tahlil. Para hadirin yang hadir dalam majlis Imam Al Haddad ikut membaca tahlil secara bersama-sama tidak ada yang saling mendahului sampai dengan 500 kali.
Disamping mengulas sejarah tahlil, buku setebal 72 hal itu juga membahas argumentasi tahlil dan pahala bacaanya yang diyakini bisa sampai kepada mayyit. Pada bab-bab berikutnya penulis juga mengupas tentang talqin dan ziarah kubur lengkap dengan pengertian, tatacara dan argumentasi pelaksanaannya. Buku ini wajib dibaca oleh warga Nahdliyyin di Kendal karena memang diterbitkan dalam rangka penggalian dana NU Kendal dan menggantikan model penggalian dana dengan lewat stiker. Sungguhpun demikian buku ini juga perlu dibaca oleh warga NU dimana saja berada.
Peresensi adalah kontributor NU Online Kendal
TAHLILAN DALAM TIMBANGAN ISLAM ( Kontra )
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an
dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan
pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi
umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan hidayah dan
inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk
senantiasa menerima kebenaran hakiki.
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan
merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman
masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama,
berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca
beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk
dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat
kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan
kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah
selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit),
kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu
diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara
tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang
berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan
yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan
biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut.
Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu
hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta
kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.
Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut
diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya,
bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi
adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara
tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk
dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila
ditinggalkan.
Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan
dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat
untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat
Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an
dan As Sunnah.
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama
menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang
selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada
Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki
oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu
wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman
(artinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)
Historis Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.
Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al
Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan
dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.
1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a
yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)
Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ
يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan
kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah
dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk
kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ فَي
الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal,
hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ
شَرَعَ
“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan
(padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah
menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit
dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang
oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu
Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam
Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab
Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya
yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di
rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal
itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul
Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab
Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya
Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab
Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab
Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain
yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama
(bid’ah –pent).
Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut
dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga
keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya
meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ
طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far,
Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu
Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.
http://assalafy.org/artikel.php?kategori=aqidah6
(2957) views
(2957) views
SEJARAH MUNCULNYA ACARA SELAMATAN KEMATIAN (TAHLILAN)( Kontra)
Sunday, 20 November 2011 at 14:12
SEJARAH MUNCULNYA ACARA SELAMATAN
KEMATIAN
(TAHLILAN)
Selamatan kematian atau yang sering dikenal dengan istilah “TAHLILAN” dalam masyarakat Islam Indonesia sangat kental sekali. Terutama dikalangan Masyarakat Islam Tradisional, walaupun tidak jarang pula dilakukan pula oleh sebagian Intelektualnya. Acara selamatan kematian ini merata dilakukan di berbagai penjuru nuantara dan beberapa Negara tetangga seperti Malaysia dan Brunai Darusalam. Namun sulit sekali dijumpai acara seperti ini di Negara Negara Islam seperti di Negara Negara Timur Tengah. Sebenarnya apa yang menyebabkan acara ini hanya dilakukan di senagian negeri Islam saja dan tidak merata diseluruh Negeri Islam didunia. Padahal sebagian besar mayarakat Islam Indonesia khususnya, mng-klaim bahwa acara ini adalah merupakan bagian dari ajaran Islam. Namun mengapa justru di Negara arab sendiri yang merupakan tempat awal tumbuhmya Islam justru acara seperti ini tidak di kenal.
Pada kesempatan ini penulis nukil beberapa paragraph mengenai hal diatas. Namun saya hanya meninjau dari sisi sejarah. Saya temukan sebuah naskah yang dicetak sekitar tahun 1968M, yang mengungkap masalah percampuran ritual keagamaan yang terjadi di tanah jawa pada masa peralihan Kerajaan Madjapahit – Demak Bintoro.
“Para Radja pada zaman Mataram, Kediri, dan Madjapahit jang telah mangkat dipudja ditjandi makam istimewah, diudjudkan patung dewa jang dianggap menitis dalam pribadi radja jang bersangkutan dalam hidupnya. Ada kalanja sang permainsuri djuga ikut diabadikan sebagai lanbang sakti radja jang dipatungkan dalam tjandimakam. Pemudjaan arwah leluhur jang demikian tidak dikenal di India sebagai tempat asal agama Hindu. Pemudjaan arwah lelehur adalah watak chusus kehidupan keagamaan di Indonesia.
Upatjara pemudjaan arwah para leluhur yang dilakukan oleh radja pada waktu waktu tertentu, dilakukan setjara besar besaran. Rakjat ikut serta merajakanja. Akibat kemerosotan kehidupan perekonomian dan keruntuhan keradjaan madjapahit,pada masa pemerintahan dinasti |Djin Bun di Demak,pemudjaan arwahleluhur di tjandi makam para radja itu dengan sendirinja lenjap. Bupati Girindrawardhana tidak lagi mampu memikul biajanja. Tjandi makam para leluhurbeserta patungnja terbengkalai.; kurang pendjagaan, akibat banjak diantara tjandi makam itu jang berantakan. Upathara`keagamaan dipedusunan masih tetap dilakukan meskipundengan bentuk jang sangat sederhana berhubung dengan kemerosotan kehidupan perekonomian.
|Bertalian dengan pumudjaan arwah para leluhur itu perlu disinggung disini pesta srada pada tahun Saka 1284 atau |Masehi 1362 untuk memperingati |Radjapatni jang diselenggarakan oleh |Prabu Hajam wuruk setjara besar besaran.. Bagaimanapun pesta srada bertalian erat dengan pemudjaan arwah para leluhur. Pesta arwah tersebut diatas bertalian dengan pemudjaan arwah Radjapatni oleh HajamWuruk.
Setelah Islam masuk diwilajah Madjapahit, pesta srada sebagai peringatan kepada arwah para leluhur masih tetap dirajakan. Pesta srada itu disebut dalam bahasa djawa “NJADRAN”. Pesta itu diadakan dikuburan para leluhur dalam bulan Arwah atau Ruwah jakni bulan sya’ban., menghadapi bulan puasa atau Ramadhan. Orang membawa makanan kekuburan untuk berpestademi peringatan atau pemudjaan arwah para leluhur. Disamping itu dilakukan penjekaran artinja: mengirim bungakepada arwah para leluhur. Djelaslah bahwa njadran adalah sama dengan pesta srada pada zaman madjapahit.
Pemudjaan arwah leluhur dalam bentuk selamatan dilakukan beberapa kali setelah sesorang meninggal jakni pada saat orang meninggal, tiga hari kemudian, 7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 100 hari kemudian, 1tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000 hari kemudian. Selamatan jang pada hakekatnja adalah pemudjaan arwah para nleluhur, dilakukan baik oleh orang Djawa jang sudah masuk Islam maupun jang belum.”
Itulah nukilan dari buku “RUNTUHNJA KERADJAAN HINDU-DJAWA DAN TIMBULNJA NEGARA 2 ISLAM DI NUSANTARA” oleh Prof.Dr. Slamet Muljana thn1968M.
Dari nukilan tersebut tampak jelas bahwa perayaan atau ritual selamatan kematian yang dilakukan sebagian umat Islam Indonesia yang sering disebut “TAHLILAN” adalah produk asli Masyarakat Djawa kuno, dan tidak bias terpengaruh walupun beberapa agama telah melalui masa kehidupan mereka.
Berkaitan dengan hal ini, saya memiiki sebuah kisah dari seorang teman.
Teman saya ini adalah seorang pekerja disebuah bengkel. |Suatu ketika salah seorang atasannya tidak masuk kerja karena cuti untuk pulang kampung. Ketika atasannya tersebut sudah kembali bekerja, ia pun mengabarkan bagaimana keadaannya, dan menanyakan gerangan ada acara apa sehingga ambil cuti pulang kampung. Si atasan Menceritakan bahwa Istrinya telah meninggal beberapa waktu yang lalu karena terserang hepatitis, dan kepulangnya kemarin adalah untuk memperingati acara 40 hari meninggalnya sang istri. Oo.. piker teman saya maklum. Beberapa hari kemudian baru ia tau bahwa atasannya itu bukan seorang muslim, karena memang teman saya ini termasuk karyawan baru ditempat itu. Heran…, itulah yang melanda pikiran teman saya, karena selama ini yang ia tau peringatan kematian sebagamana disebutkan hanya dilakukan oleh orang Muslim saja. Ternyata agama selain islam juga turut melakukan juga.
Jiika demikian keadaannya, maka dapalah kita simpulkan bahwa acara selamatan kematian atau TAHLILAN bukanlah dari |Islam, melainkan ritual jawa kuno yang divermak dan dipoles sehingga tampak seperti bagian dari agama Islam.
|Wallahu a’lam bish showab washolallohu’ala Muhammadin wa’ala aliihi washohbih, walhamdulillahirobbil ‘alamiin.
Bekasi, 21 Romadhon 1432H
(TAHLILAN)
Selamatan kematian atau yang sering dikenal dengan istilah “TAHLILAN” dalam masyarakat Islam Indonesia sangat kental sekali. Terutama dikalangan Masyarakat Islam Tradisional, walaupun tidak jarang pula dilakukan pula oleh sebagian Intelektualnya. Acara selamatan kematian ini merata dilakukan di berbagai penjuru nuantara dan beberapa Negara tetangga seperti Malaysia dan Brunai Darusalam. Namun sulit sekali dijumpai acara seperti ini di Negara Negara Islam seperti di Negara Negara Timur Tengah. Sebenarnya apa yang menyebabkan acara ini hanya dilakukan di senagian negeri Islam saja dan tidak merata diseluruh Negeri Islam didunia. Padahal sebagian besar mayarakat Islam Indonesia khususnya, mng-klaim bahwa acara ini adalah merupakan bagian dari ajaran Islam. Namun mengapa justru di Negara arab sendiri yang merupakan tempat awal tumbuhmya Islam justru acara seperti ini tidak di kenal.
Pada kesempatan ini penulis nukil beberapa paragraph mengenai hal diatas. Namun saya hanya meninjau dari sisi sejarah. Saya temukan sebuah naskah yang dicetak sekitar tahun 1968M, yang mengungkap masalah percampuran ritual keagamaan yang terjadi di tanah jawa pada masa peralihan Kerajaan Madjapahit – Demak Bintoro.
“Para Radja pada zaman Mataram, Kediri, dan Madjapahit jang telah mangkat dipudja ditjandi makam istimewah, diudjudkan patung dewa jang dianggap menitis dalam pribadi radja jang bersangkutan dalam hidupnya. Ada kalanja sang permainsuri djuga ikut diabadikan sebagai lanbang sakti radja jang dipatungkan dalam tjandimakam. Pemudjaan arwah leluhur jang demikian tidak dikenal di India sebagai tempat asal agama Hindu. Pemudjaan arwah lelehur adalah watak chusus kehidupan keagamaan di Indonesia.
Upatjara pemudjaan arwah para leluhur yang dilakukan oleh radja pada waktu waktu tertentu, dilakukan setjara besar besaran. Rakjat ikut serta merajakanja. Akibat kemerosotan kehidupan perekonomian dan keruntuhan keradjaan madjapahit,pada masa pemerintahan dinasti |Djin Bun di Demak,pemudjaan arwahleluhur di tjandi makam para radja itu dengan sendirinja lenjap. Bupati Girindrawardhana tidak lagi mampu memikul biajanja. Tjandi makam para leluhurbeserta patungnja terbengkalai.; kurang pendjagaan, akibat banjak diantara tjandi makam itu jang berantakan. Upathara`keagamaan dipedusunan masih tetap dilakukan meskipundengan bentuk jang sangat sederhana berhubung dengan kemerosotan kehidupan perekonomian.
|Bertalian dengan pumudjaan arwah para leluhur itu perlu disinggung disini pesta srada pada tahun Saka 1284 atau |Masehi 1362 untuk memperingati |Radjapatni jang diselenggarakan oleh |Prabu Hajam wuruk setjara besar besaran.. Bagaimanapun pesta srada bertalian erat dengan pemudjaan arwah para leluhur. Pesta arwah tersebut diatas bertalian dengan pemudjaan arwah Radjapatni oleh HajamWuruk.
Setelah Islam masuk diwilajah Madjapahit, pesta srada sebagai peringatan kepada arwah para leluhur masih tetap dirajakan. Pesta srada itu disebut dalam bahasa djawa “NJADRAN”. Pesta itu diadakan dikuburan para leluhur dalam bulan Arwah atau Ruwah jakni bulan sya’ban., menghadapi bulan puasa atau Ramadhan. Orang membawa makanan kekuburan untuk berpestademi peringatan atau pemudjaan arwah para leluhur. Disamping itu dilakukan penjekaran artinja: mengirim bungakepada arwah para leluhur. Djelaslah bahwa njadran adalah sama dengan pesta srada pada zaman madjapahit.
Pemudjaan arwah leluhur dalam bentuk selamatan dilakukan beberapa kali setelah sesorang meninggal jakni pada saat orang meninggal, tiga hari kemudian, 7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 100 hari kemudian, 1tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000 hari kemudian. Selamatan jang pada hakekatnja adalah pemudjaan arwah para nleluhur, dilakukan baik oleh orang Djawa jang sudah masuk Islam maupun jang belum.”
Itulah nukilan dari buku “RUNTUHNJA KERADJAAN HINDU-DJAWA DAN TIMBULNJA NEGARA 2 ISLAM DI NUSANTARA” oleh Prof.Dr. Slamet Muljana thn1968M.
Dari nukilan tersebut tampak jelas bahwa perayaan atau ritual selamatan kematian yang dilakukan sebagian umat Islam Indonesia yang sering disebut “TAHLILAN” adalah produk asli Masyarakat Djawa kuno, dan tidak bias terpengaruh walupun beberapa agama telah melalui masa kehidupan mereka.
Berkaitan dengan hal ini, saya memiiki sebuah kisah dari seorang teman.
Teman saya ini adalah seorang pekerja disebuah bengkel. |Suatu ketika salah seorang atasannya tidak masuk kerja karena cuti untuk pulang kampung. Ketika atasannya tersebut sudah kembali bekerja, ia pun mengabarkan bagaimana keadaannya, dan menanyakan gerangan ada acara apa sehingga ambil cuti pulang kampung. Si atasan Menceritakan bahwa Istrinya telah meninggal beberapa waktu yang lalu karena terserang hepatitis, dan kepulangnya kemarin adalah untuk memperingati acara 40 hari meninggalnya sang istri. Oo.. piker teman saya maklum. Beberapa hari kemudian baru ia tau bahwa atasannya itu bukan seorang muslim, karena memang teman saya ini termasuk karyawan baru ditempat itu. Heran…, itulah yang melanda pikiran teman saya, karena selama ini yang ia tau peringatan kematian sebagamana disebutkan hanya dilakukan oleh orang Muslim saja. Ternyata agama selain islam juga turut melakukan juga.
Jiika demikian keadaannya, maka dapalah kita simpulkan bahwa acara selamatan kematian atau TAHLILAN bukanlah dari |Islam, melainkan ritual jawa kuno yang divermak dan dipoles sehingga tampak seperti bagian dari agama Islam.
|Wallahu a’lam bish showab washolallohu’ala Muhammadin wa’ala aliihi washohbih, walhamdulillahirobbil ‘alamiin.
Bekasi, 21 Romadhon 1432H
FIQH KHILAFIYAH NU-MUHAMMADIYAH: SEPUTAR TAHLIL
Oleh: M. Yusuf Amin
Nugroho
Dalam bahasa Arab,
Tahlil berarti menyebut kalimah “syahadah” yaitu “La ilaha illa Allah” (لااله الا الله). Dalam konteks Indonesia, tahlil menjadi sebuah
istilah untuk menyebut suatu rangkaian kegiatan doa yang
diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia.
Kegiatan tahlil sering juga disebut dengan istilah tahlilan. Tahlilan, sudah menjadi
amaliah warga NU sejak dulu hingga sekarang. Sementara kalangan Muhammadiyah
tidak membenarkan diselenggarakannya tahlilan.
Bacaan-bacaan doa serta urutan dalam acara tahlil juga
sudah tersusun sedemikian rupa, dan dihafal oleh warga NU. Begitu pula tentang
bagaimana tradisi pelaksanaannya, di mana keluarga sedang tertimpa musibah
kematian (shohibul mushibah) memberikan sedekah makanan bagi tamu yang diundang
untuk turut serta mendoakan.
NU menganggap bahwa acara tahlilan tidak bertentangan
dengan syariat Islam, melainkan justru sesuai dengan apa yang telah disunnahkan
oleh Rasulullah saw. Sementara Muhammadiyah menganggap bahwa acara tahlilan
merupakan sesuatu hal yang baru, tidak pernah dikerjakan dan diperintahkan
rasulullah (bid’ah).
NU membenarkan bahwa bacaan doa, kiriman pahala dari
membaca ayat-ayat al-Qur’an, dan shodaqah, bisa dikirimkan kepada orang yang
sudah meninggal, sementara Muhammadiyah berpendapat bahwa membaca al-Qur’an,
dan bacaan lain, serta bersodaqah yang dikirimkan kepada orang yang sudah
meninggal pahala tersebut tidak akan sampai.
Perbedaan pendapat seputar tahlil ini terjadi,
dikarenakan terjadinya penafsiran yang berbeda terhadap ayat al-Qur’an dan
hadis yang berkaitan dengan masalah tersebut. Selain juga karena dalil yang
digunakan serta metode pengistimbathan hukumnya yang berbeda. Untuk lebih
jelasnya, baiknya langsung kita pahami bersama dasar-dasar penolakan dan
penerimaan tahlil dari NU dan Muhammadiyah.
- Muhammadiyah
Sebagaimana sudah dikenal, bahwa ajaran agama
Muhammadiyah cenderung ingin memurnikan syariat Islam (tajdid). Islam
yang menyebar luas di Indonesia, khususnya di jawa, tidak dipungkiri merupakan
perjuangan dari para pendakwah Islam pertama, di antaranya adalah Wali Sanga.
Dalam menyebarkan agama Islam, Walisanga menggunakan pendekatan kultural, yang
mana tidak membuang keseluruhan tradisi dan budaya Hindu dan Budha, dua ajaran
yang menjadi mayoritas pada masa itu, melainkan memasukkan ajaran-ajaran Islam
ke dalam tradisi dan kepercayaan Hindu Budha. Salah satu tradisi agama Hindu,
yaitu ketika ada orang yang meninggal adalah kembalinya ruh orang yang
meninggal itu ke rumahnya pada hari pertama, ketiga, ketujuh, empat puluh,
seratus, dan seterusnya. Dari tradisi itulah kemudian muncul tradisi yang
kemudian dikenal dengan tahlil.
Sebagaimana sudah pernah dibahas dalam Majalah Suara Muhammadiyah dan
dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama II yang diterbitkan Muhammadiyah, tahlilan
tidak ada sumbernya dalam ajaran Islam. Tradisi selamatan kematian 7 hari, 40
hari, 100 hari maupun 1000 hari untuk orang yang meninggal dunia, sesungguhnya
merupakan tradisi agama Hindu dan tidak ada sumbernya dari ajaran Islam.
Muhammadiyah menganggap bahwa keberadaan tahlil pada dasarnya tidak bisa
dilepaskan dari tradisi tarekat. Ini bisa diketahui dari terdapatnya
gerak-gerak tertentu disertai pengaturan nafas untuk melafalkan bacaan tahlil
sebagai bagian dari metode mendekatkan diri pada Allah. Dari tradisi tarekat
inilah kemudian berkembang model-model tahlil atau tahlilan di kalangan umat
Islam Indonesia.
Dalam tanya jawab masalah Agama di Suara Muhammadiyah disebutkan
macam-macam tahlil atau tahlilan. Di lingkungan Keraton terdapat tahlil rutin,
yaitu tahlil yang diselenggarakan setiap malam Jum'at dan Selasa Legi; tahlil
hajatan, yaitu tahlil yang diselenggarakan jika keraton mempunyai hajat-hajat
tertentu seperti tahlil pada saat penobatan raja, labuhan, hajat perkawinan,
kelahiran dan lainnya. Di masyarakat umum juga berkembang bentuk-bentuk tahlil
dan salah satunya adalah tahlil untuk orang yang meninggal dunia.
Muhammadiyah yang notabenenya mengaku masuk dalam kalangan para pendukung
gerakan Islam pembaharu (tajdid) yang berorientasi kepada pemurnian ajaran
Islam, sepakat memandang tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai bid'ah
yang harus ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari Rasulullah.
Esensi pokok tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai perbuatan bid'ah
bukan terletak pada membaca kalimat la
ilaha illallah, melainkan pada hal pokok yang menyertai tahlil, yaitu;
1. Mengirimkan
bacaan ayat-ayat al-Qur'an kepada jenazah atau hadiah pahala kepada orang yang
meninggal,
2. Bacaan
tahlil yang memakai pola tertentu dan dikaitkan dengan peristiwa tertentu.
Berikut akan kami berikan argumentasi penolakan Muhammadiyah terhadap
tahlil:
Argumentasi Pertama: Bahwa mengirim hadiah pahala
untuk orang yang sudah meninggal dunia tidak ada tuntunannya dari ayat-ayat
al-Qur'an maupun hadis Rasul. Muhammadiyah berpendapat bahwa ketika dalam suatu
masalah tidak ada tuntunannya, maka yang harus dipegangi adalah sabda
Rasulullah saw, yang artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan (agama)
yang tidak ada perintahku untuk melakukannya, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Muslim
dan Ahmad]
Dalam situs
pdmbontang.com memuat sebuah artikel yang berjudul “Meninggalkan Tahlilan,
siapa takut?”, sebuah artikel yang bersumber dari MTA-online. Dalam artikel
tersebut disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw ketika masih hidup pernah mendapat
musibah kematian atas orang yang dicintainya, yaitu Khodijah. Tetapi Nabi saw
tidak pernah memperingati kematian istrinya dalam bentuk apapun apalagi dengan
ritual tahlilan. Semasa Nabi hidup juga pernah ada banyak sahabatnya dan juga
pamannya yang meninggal, di antaranya Hamzah, si singa padang pasir yang
meninggal dalam perang Uhud. Beliau juga tidak pernah memperingati kematian
pamannya dan para sahabatnya.
Demikian pula setelah
Rasulullah saw wafat, tahlilan atau peringatan hari kematian belum ada pada
masa khulafaur Rasyidin. Pada masa Abu Bakar tidak pernah memperingati kematian
Rasulullah Muhammad saw. Setelah Abu Bakar wafat Umar bin Khaththab sebagai
kholifah juga tidak pernah memperingati kematian Rasululah Muhammad saw dan Abu
Bakar ra. Singkatnya semua Khulafaur Rasyidin tidak pernah memperingati
kematian Rasulullah saw.
Dalil aqli atas sejarah
tersebut adalah, kalau Rasulullah saw tidak pernah memperingati kematian, para
sahabat semuanya tidak pernah ada yang memperingati kematian, berarti
peringatan kematian adalah bukan termasuk ajaran Islam, sebab yang menjadi
panutan umat Islam adalah Rasulullah saw dan para sahabatnya, bukan?
Selain itu, berkaitan dalam masalah tahlil, Muhammadiyah menolaknya dengan
dasar dari hadist Rasulullah saw, yang artinya
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Apabila manusia telah mati, maka putuslah
segala amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat
baginya, dan anak saleh yang mendoakannya.” [HR. Muslim]
Berkaitan dengan hadis tersebut, yang juga digunakan oleh Ulama atau
kalangan yang membolehkan tahlilan, Muhammadiyah memandang bahwa hadist itu berbicara tentang
mendoakan, bukan mengirim pahala doa dan bacaan ayat-ayat Al Qur'an. Mendoakan
orang tua yang sudah meninggal yang beragama Islam memang dituntunkan oleh
Islam, tetapi mengirim pahala doa dan bacaan, menurut kepercayaan Muhammadiyah,
tidak ada tuntunannya sama sekali.
Argumentasi kedua: selain dasar sebagaimana
sudah disebutkan, Muhammadiyah juga mendasarkan argumentasinya pada al-Qur’an
surat an-Najm ayat 39, ath-Thur 21, al-Baqarah 286, al-An’am 164, yang mana
dalam ayat-ayat tersebut diterangkan bahwa manusia hanya akan mendapatkan apa
yang telah dikerjakannya sendiri. Berikut adalah petikan ayat-ayatnya:
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya (Q.S. an-Najm: 39)
Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu
mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan
mereka[1426], dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.
tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. [QS.
ath-Thur (52): 21]
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa):
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami
tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.
beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong
kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Q.S.
al-Baqarah: 286)
Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain
Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat
dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu
kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan." [QS.
al-An’am (6): 164]
Dalam menjelaskan
ayat-ayat tersebut, kalangan yang menolak tahlilan mengutip pendapat madzhab
Syafii yang dikutip Imam Nawawi dalam Syarah Muslimnya, di sana dikatakan bahwa
bacaan qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai, sebagaimana
disebutkan dalam dalam al-Qur’an surat an-Najm ayat 39 di atas.
Selain itu, juga
dikuatkan dengan pendapat Imam Al Haitami dalam Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah
yang mengatakan: "Mayit tidak boleh
dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama mutaqaddimin,
bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai
kepadanya." Sedang dalam Al Um Imam Syafi'i menjelaskan bahwa Rasulullah
saw memberitakan sebagaimana diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang akan menimpa
dirinya sendiri, seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan
untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain. (Al Umm juz 7,
hal 269).
Dasar selanjutnya
adalah, perbuatan Nabi yang tidak menyukai ma'tam, yaitu berkumpul (di rumah
keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah
akan menimbulkan kesedihan baru (Al Umm, juz I, hal 248). Juga perkataan Imam
Nawawi yang mengatakan bahwa penyediaan hidangan makanan oleh keluarga si mayit
dan berkumpulnya orang banyak di situ tidak ada nashnya sama sekali (Al Majmu'
Syarah Muhadzab, juz 5 hal 286).
Sebagaimana sudah
menjadi keputusan Tarjih Muhammadiyah dalam masalah ini, bahwa ketika ada yang
meninggal yang seharusnya membuat makanan adalah tetangga atau kerabat dekat
untuk keluarga si mayit. Dasarnya adalah hadis dari Abdullah bin Ja'far, ia
berkata, yang artinya:
Setelah datang berita kematian
Ja'far, Rasulullah bersabda: "Buatlah
makanan untuk keluarga Ja'far, karena telah datang kepada mereka sesuatu yang
menyusahkan mereka”. (H.R Tirmidzi dengan sanad hasan).
Demikianlah pendapat Muhammadiyah dalam masalah tahlil. Penolakannya
terhadap tradisi tahlilan talah terang memiliki dasar. Lalu, bagaimana pendapat
NU? Dalil-dalil apa yang digunakan oleh Ulama NU sehingga sampai sekarang masih
mempertahankan tahlilan? Mari kita kaji bersama-sama.
- Nahdhatul Ulama
Di atas, kita telah tahu pengertian
tahlil secara bahasa maupun istilah. Bahwa tahlil, secara bahasa berarti
pengucapan kalimat la ilaha illallah. Sedang
tahlil secara istilah, sebagaimana ditulis KH M. Irfan Ms, salah seorang tokoh
NU, ialah mengesakan Allah dan tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya
kepada Allah, tidak hanya mengkui Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk
mengabdi, sebagimana dalam pentafsiran kalimah thayyibah. Pada perkembangannya,
tahlil diitilahkan sebagai rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam
rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya tahlil bisa
dilakukan sendiri-sendiri, namun kebiasaannya tahlil dilakukan dengan cara
berjamaah.
Dalam buku Antologi NU
diterangkan, sebelum doa dilakukan, dibacakan terlebih dahulu kalimah-kalimah
syahadad, hamdalah, takbir, shalawat, tasbih, beberapa ayat suci al-Qur’an dan
tidak ketinggalan hailallah (membaca laa ilaaha illahllaah) secara
bersama-sama.
Biasanya acara tahlil dilaksanakan sejak malam pertama orang meninggal
sampai tujuh harinya. Lalu dilanjutkan lagi apda hari ke -40, hari ke-100, dan
hari ke-1000. Selanjtunya dilakukan setiap tahun dengan nama khol atau haul,
yang waktunya tepat pada hari kematiannya.
Setelah pembacaan doa biasanya tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman
kepada para jamaah. Kadang masih ditambah dengan berkat (buah tangan berbentuk
makanan matang). Pada perkembangannya di beberapa daerah ada yang mengganti berkat, bukan lagi dengan makanan
matang, tetapi dengan bahan-bahan makanan, seperti mie, beras, gula, the,
telur, dan lain-lain. Semua itu diberikan sebagai sedekah, yang pahalanya
dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dunia tersebut. Sekaligus sebagai
manifestasi rasa dinta yang mendalam baginya.
Dalam menjelaskan masalah tahlil, H.M.Cholil
Nafis, tokoh pembesar NU, menjelaskan pula sejarah tahlil, sebelum memberikan
dasar-dasar dibolehkannya tahlil. Menurutnya, berkumpulnya orang-orang
untuk tahlilan pada mulanya ditradisikan oleh Wali Songo (sembilan pejuang
Islam di tanah Jawa). Seperti yang telah kita ketahui, di antara yang paling
berjasa menyebarkan ajaran Islam di Indonesia adalah Wali Songo. Keberhasilan
dakwah Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode
kultural atau budaya.
Wali Songo tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar
kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya
diganti dengan nilai Islam.
Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan
tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi
begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta
membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun
acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti
pengertian di atas tidak dikenal sebelum Wali Songo.
Warga NU sampai sekarang tetap mempertahankan tahlil, salah satu tradisi
yang dimunculkan pertama kali oleh Walisanga. KH Sahal Mahfud, ulama NU dari
Jawa Tengah, berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya
terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka
melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.
Kalau kita tinjau apa yang disampaikan KH Sahal Mahfud, terdapat dua hikmah
dilakukannya tahlil, yaitu, pertama,
hamblumminannas, dalam rangka melaksanakan ibadah sosial; dan
kedua, hablumminallah, dengan meningkatkan dzikir kepada Allah.
Mari kita lihat perspektif Ulama NU tentang dua hikmah tahlil tersebut.
Pertama, bahwa dalam tahlil terdapat aspek ibadah sosial,
khususnya tahlil yang dilakukan secara berjamaah. Dalam tahlil, sesama muslil
akan berkumpul sehingga tercipta hubungan silaturrahmi di antara mereka. Selain
itu, dibagikannya berkat, sedekah
berupa makanan atau bahan makanan, juga merupakan bagian dari ibadah sosial.
Dalam sebuah hadis dijelaskan, yang artinya:
Dari Amr bin
Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian saya bertanya,
“Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Bertutur kata yang
baik dan menyuguhkan makanan.” (HR Ahmad)
Menurut NU, sebagaimana disampaiakan H.M.Cholil Nafis, memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada
orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa
memberi jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika
dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang
pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada
tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati
tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah
kepada orang lain.
Dalam hadits shahih yang lain disebutkan, yang artinya:
Dari Ibnu
Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah SAW,
Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika akan
bersedekah untuknya?" Rasulullah menjawab, "Ya”. Laki-laki itu
berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa
aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR
Tirmidzi)
Pembolehan sedekah untuk mayit juga dikuatkan dengan pendapat Ibnu Qayyim
al-Jawziyah yang dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang
dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istigfar, doa dan
haji. Adapun pahala membaca Al-Qur'an secara sukarela dan pahalanya diberikan
kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa
dan haji.
Namun demikian, karena memberikan jamuan untuk tamu berupa berkat adalah hukumnya boleh, maka
kemampuan ekonomi tetap harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tradisi NU
dalam memberi jamuan makan untuk tamu tidaklah sesuatu yang wajib. Orang yang
tidak mampu secara ekonomi, semestinya tidak memaksakan diri untuk memberikan
jamuan dalam acara tahlilan, apalagi sampai berhutang ke sana ke mari atau
sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain, demikian dikatakan
KH. Cholil Nafis.
Semua jamuan dan doa dalam tahlilan pahalanya dihadiahkan kepada mayit.
Warga NU percaya bahwa bersedekah untuk mayit, pahalanya akan sampai kepada
mayit.
Dalam
buku Risalah Amaliyah Nahdhiyin disebutkan dikutip sebuah hadis di mana
Rasulullah pahala sedekah untuk mayit akan sampai.
Dari Aisyah ra.bahwa seorang laki-laki berkata kepada
rasulullah SAW. “Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan aku melihatnya seolah-olah
dia berkata, bersedekahlah. Apakah baginya pahala jika aku bersedekah
untuknya?”. Rasulullah SAW. Bersabda,”ya”. (HR. Muttafaqu ‘alaih)
Perintah Rasulullah yang senada itu juga dapat
ditemukan dalam hadits-hadits yang lain. Bahkan beliau menyebut amalan sedekah
sebagai amalan yang tidak akan pernah putus meskipun oranng yang bersedekah itu
telah meninggal dunia. Pahala sedekah tidak saja dapat mengalir ketika yang
bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah ditiggalkan oleh
rohnya.
Dari Abi Hurairah ra.bahwa rasulullah SAW.bersabda: 'Tatkala
manusia meninggal maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu amal
Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakannya.” (HR.
Muslim).
Dalil lain adalah hadits yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad as-Syarbashi, guru
besar pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya, Yas`aluunaka fid Diini wal
Hayaah, sebagaimana dikutip KH.
Chilil Nafis, yang artinya sebagai berikut:
“Sungguh para ahli fiqh telah berargumentasi atas kiriman pahala ibadah itu
dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa
sesungguhnya ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya
berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami
yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka;
apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw
bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada
mereka dan sesungguhnya mereka itu benar-benar bergembira dengan kiriman pahala
tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah
apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!"
Jadi, menurut NU, doa dan sedekah yang pahalanya diberikan kepada mayit
akan diterima oleh Allah.
Argumentasi selanjutnya adalah, bahwa tahlil merupakan sarana
hablumminallah, sebab doa-doa atau bacaan-bacaan dalam tahlil merupakan
bacaan-bacaan dzikrullah yang mana apa yang dibaca tersebut sesuati dengan
sunnah Nabi Muhamamd saw.
Bahwa ummat Islam diperintahkan, tidak hanya berdoa untuk orang yang masih
hidup, tetapi juga untuk orang yang sudah meninggal.
Allah swt berfirman:
Orang-orang
yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan
kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu
daripada kami.” (QS.
Al-Hasyr: 10)
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
Maka
Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah
dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki
dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu
tinggal. (QS.
Muhammad: 19)
KH M. Irfan Ms pernah
mengatakan bahwa tahlil dengan serangkaian bacaannya yang lebih akrab disebut
dengan tahlilan tidak hanya berfungsi hanya untuk mendoakan sanak kerabat yang
telah meninggal, akan tetapi lebih dari pada itu tahlil dengan serentetan
bacaannya mulai dari surat Al-ikhlas, Shalawat, Istighfar, kalimat thayyibah
dan seterusnya memiliki makna dan filosofi kehidupan manusia baik yang
bertalian dengan i’tiqad Ahlus Sunnah wal jamaah, maupun gambaran prilaku
manusia jika ingin memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di
akhirat kelak.
Dari susunan
bacaannya tahlilan terdiri dari dua unsur, yaitu syarat dan rukun.
Bacaan-bacaan yang termasuk syarat tahlil adalah:
1. Surat al-Ikhlas
2. Surat al-Falaq
3. Surat an-Nas
4. Surat al-Baqarah ayat
1 sampai ayat 5 الم ذلك الكتاب
5. Surat al-Baqarah ayat
163 والهكم إله واحد
6. Surat al-Baqarah ayat
255 الله لاإله إلا هو
الحي القيوم
7. Surat al-Baqarah ayat
dari ayat 284 samai ayat 286 لله
مافي السموات
8. Surat al-Ahzab ayat
33 إنما يريد الله
9. Surat al-Ahzab ayat
56 إن الله وملائكته
يصلون على النبي
10. Dan sela-sela bacaan
antara Shalawat, Istighfar, Tahlil da Tasbih
Adapun bacaan yang
dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan:
1. Surat al-Baqarah ayat
286 pada bacaan :واعف عنا واغفر لنا
وارحمنا
2. Surat al-Hud ayat 73:
ارحمنا ياأرحم
الراحمين
3. Shalawat Nabi
4. Istighfar
5. Kalimat Thayyibah لاإله إلاالله
6. Tasbih
Ayat-ayat serta
bacaan-bacaan dzikir di atas memiliki keutamaannya masing-masing sebagaimana
disebutkan dalam hadis-hadis Nabi saw.
Seperti, misalnya sebuah
hadis yang mengatakan bahwa “orang yang menyebut “la ilaha illa Allah” akan
dikeluarkan dari neraka." Dalam rangkaian tahlil biasanya juga membaca
surat Yasin secara berjamaah. Perbuatan ini sesuai dengan apa yang
diperintahkan Nabi SAW dalam beberapa haditsnya yang secara terang-terangan
memerintahkan supaya umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur’an untuk orang yang
telah meninggal dunia.
Dari Mu’aqqol ibn Yassar
r.a: "barang siapa membaca surat Yasin karena mengharap ridlo Allah,
maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka bacakanlah surat yasin bagi
orang yang mati diantara kamu.” (H.R. Al-Baihaqi, dalam Jami’us Shogir: bab
Syu’abul Iman)
Masih banyak hadis-hadis
berkaitan dengan keutamaan surat-surat al-Qur’an serta bacaan-bacaan dzikir
dalam serangkaian bacaan tahlil yang akan terlalu panjang jika semuanya ditulis
di sini.
Kemudian, tentang dzikir
yang dilakukan secara berjamaah, termasuk dalam acara tahlilan, juga masuk
perkara ikhtilaf antara NU dan Muhammadiyah. Permasalah ini akan kita bahas
pada bab tersendiri. Yang perlu dibahas lebih dalam disini, yang juga menjadi
kontroversi Ulama, adalah membaca surat
al-Fatiah untuk dihadiahkan kepada mayit.
Dalam pembacaan tahlil,
setelah jamaah bersama-sama melantunkan shahadat, sebelum dilanjutkan dengan
bacaan-bacaan dan doa-doa yang lain, biasanya pemimpin tahlil akan menghadiahi
fatihah yang ditujuakan kepada, Nabi Muhammad saw berserta keluarga, para
sahabat, kepada orang-orang sholih, dan kepada orang yang meninggal. NU
berpendapat bahwa membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada orang yang
sudah meninggal hukumnya adalah boleh.
KH A Nuril Huda, mengutip pendapat Ibnu 'Aqil, salah seorang tokoh
besar madzhab Hanbali yang mengatakan: "Disunnahkan menghadiahkan bacaan
Al-Qur'an kepada Nabi SAW.”
Ibnu 'Abidin telah
bertaka sebagaimana tersebut dalam Raddul Muhtar
'Alad-Durral Mukhtar:
"Ketika para ulama
kita mengatakan boleh bagi seseorang untuk menghadiahkan pahala amalnya untuk
orang lain, maka termasuk di dalamnya hadiah kepada Rasulullah SAW. Karena
beliau lebih berhak mendapatkan dari pada yang lain. Beliaulah yang telah
menyelamatkan kita dari kesesatan. Berarti hadiah tersebut termasuk salah satu
bentuk terima kasih kita kepadanya dan membalas budi baiknya.
Bukankah seorang yang
kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan untuk bertambah ketinggian derajat dan kesempurnaannya.
Dalil sebagian orang yang melarang bahwa perbuatan ini adalah tahshilul hashil (percuma) karena semua
amal umatnya otomatis masuk dalam tambahan amal Rasulullah, jawabannya adalah
bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan
dalam Al-Qur'an bahwa Ia bershalawat terhadap Nabi SAW kemudian Allah
memerintahkan kita untuk bershalawat kepada Nabi dengan mengatakan:
اَللّهُمَّ
صَلِّي عَلَى مُحَمَّدٍ
“Ya
Allah berikanlah rahmat kemuliaan buat Muhammd. Wallahu A’lam.” (lihat dalam Raddul Muhtar 'Alad-Durral Mukhtar,
jilid II, hlm. 244)
Bolehnya menghadiakan
al-Fatikhah juga diperkuat dengan pendapat Ibnu Hajar al Haytami dalam Al-Fatawa al-Fiqhiyyah. Juga,
Al-Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul Muhkam al-Matin, yang
mengatakan: "Menurut saya boleh saja seseorang menghadiahkan bacaan
Al-Qu'an atau yang lain kepada baginda Nabi SAW, meskipun beliau selalu
mendapatkan pahala semua kebaikan yang dilakukan oleh umatnya, karena memang
tidak ada yang melarang hal tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukannya,
hal ini tidak menunjukkan bahwa itu dilarang.
Jika hadiah bacaan
Al-Qur'an termasuk al-Fatihah diperbolehkan untuk Nabi, maka, menurut Ulama NU,
menghadiahkan al-Fatihah untuk para wali dan orang-orang saleh yang jelas-jelas
membutuhkan tambahnya ketinggian derajat dan kemuliaan juga dihukumi boleh.
Selain hadiah
al-Fatihal, hal yang juga menjadi tradisi NU, dan tidak terdapat di
Muhammadiyah adalah tradisi Haul. Masalah haul, barangkali tepat untuk sekalian
kita angkat di sini, sebab dalam acara haul yang ditradisikan oleh NU
dipastikan ada pembacaan tahlil.
Haul adalah peringatan
kematian yang dialukan setahun sekali, biasanya diadakan untuk memperingati
kematian para keluarga yang telah meninggal dunia atau para tokoh. Tradisi haul
diadakan berdasarkan hadits Rasulullah SAW. Diriwayatkan:
Rasulullah berziarah ke makam Syuhada
(orang-orang yang mati syahid) dalam perang Uhud dan makam keluarga Baqi’.
Beliau mengucap salam dan mendoakan mereka atas amal-amal yang telah mereka
kerjakan. (HR.
Muslim)
Dalam hadis lain yang
diriwayatkan oleh Al-Wakidi disebutkan bahwa:
Rasulullah SAW mengunjungi makam para pahlawan
perang Uhud setiap tahun. Jika telah sampai di Syi’ib (tempat makam mereka),
Rasulullah agak keras berucap: Assalâmu’alaikum bimâ shabartum fani’ma uqbâ
ad-dâr. (Semoga kalian selalu mendapat kesejahteraan ats kesabaran yang telah
kalian lakukan. Sungguh akhirat adalah tempat yang paling nikmat). Abu Bakar,
Umar dan Utsman juga malakukan hal yang serupa. (Dalam Najh al-Balâghah).
Para ulama menyatakan,
peringatan haul tidak dilarang oleh agama, bahkan dianjurkan. Ibnu Hajar dalam
Fatâwa al-Kubrâ Juz II, sebagaimana dikutip A. Khoirul Anam dalam artikelnya, menjelaskan,
para Sahabat dan Ulama tidak ada yang melarang peringatan haul sepanjang tidak
ada yang meratapi mayyit atau ahli kubur sambil menangis. Peringatan haul yang
diadakan secara bersama-sama menjadi penting bagi umat Islam untuk
bersilaturrahim satu sama-lain; berdoa sembari memantapkan diri untuk menyontoh
segala teladan dari para pendahulu; juga menjadi forum penting untuk
menyampaikan nasihat-nasihat keagamaan.
Demikianlah pendapat NU
mengenai tahlil, yang intinya tahlil tidak bertentangan dengan syariat. Karena
dengan seseorang mengikuti tahlilan, baik sendiri-sendiri, berjamaah, dalam
acara haul atau tidak, maka mereka menjadi berdzikir dengan mengalunkan kalimah
syahadah, juga membaca ayat suci al-Qur’an serta bacaan dzikir yang lain, yang
semua itu tidak lain sebagai cara istighatsah kepada Allah agar doanya diterima
untuk mayit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar